- Back to Home »
- sejarah »
- bekasi
Posted by : m. syarif hidayatullah
Selasa, 09 Juli 2013
ANTARA MODERN DAN TEMPO
DOELO DAERAH BEKASI
Bekasi merupakan salah satu kota yang
terdapat di provinsi Jawa Barat, Indonesia. Kota ini berada dalam lingkungan
megapolitan Jabodetabek dan menjadi kota besar ke empat di Indonesia. Bekasi mempunyai
kekayaan di berbagai sector, yaitu sektor industri, sektor parawisata dan sektor pertanian.
Sektor industri mempunyai beberapa kawasan seperti kawasan Ejip, kawasan Jababeka,
kawasan MM2100, kawasan Hyundai dan lain- lain. Industri yang ada di daerah Bekasi banyak
sekali macamnya seperti makanan, transportasi, keperluan rumah tangga,
keperluan sektor pertanian, dan lain- lain.
Gb.kawasan Jababeka Gb.
Kawasan hyundai
Sektor pariwisata di daerah bekasi juga tidak kalah lengkap seperti sejarah
gedung juang, waterboom lippo cikarang, taman buaya, saung ranggon, bumi
perkemahan karang kitri, dan lain lain.
Gb. Waterboom lippo cikarang Gb. Taman buaya
Gb. Bumi perkemahan karang kitri Gb.
Gedung juang
Sektor pertanian walau sudah tergusur oleh faktor faktor lain, tetapi masih
ada yang mempertahankan wilayah tersebut seperti sukatani, bojongmangu,
cikarang pusat, serang baru, cibarusah dan lain lain.
Gb. Pertanian bekasi
Bekasi sangat maju pada zaman sekarang. Kita kembali pada keadaan masa
lampau bekasi. Banyak peristiwa yang harus kita ingat pada masa lalu bekasi. Sejarang
singkat bekasi pada masa lalu. Bekasi tempo
dulu merupakan ibu kota Kerajaan
Tarumanegara dengan sebutan Dayeuh Sundasembawa atau Jayagiri. Di
kota inilah asal Maharaja Tarusbawa, pendiri Kerajaan Sunda menurunkan raja-raja Sunda sampai generasi ke-40 yaitu Ratu
Ragumulya, penguasa Pajajaran
yang terakhir. Pada masa kolonial Hindia-Belanda, Bekasi
merupakan salah satu kewedanaan di dalam Kabupaten Meester Cornelis, yang termasuk
ke dalam wilayah karesidenan Batavia En Omelanden.
Pada tahun 1950, Kabupaten Meester Cornelis (Jatinegara) berubah nama menjadi Kabupaten Bekasi. Dan Kota Bekasi merupakan
sebuah kecamatan dari Kabupaten Bekasi yang kemudian berkembang dan ditingkatkan
statusnya pada tahun 1982 menjadi kota administratif Bekasi.
Kota Bekasi saat itu terdiri atas empat kecamatan yaitu kecamatan Bekasi Timur,
Bekasi Selatan, Bekasi Barat, dan Bekasi Utara, serta meliputi 18 kelurahan dan 8 desa.
Masyarakat Bekasi memiliki jati
diri kuat, peradaban unggul dan sejarah yang panjang. Para ilmuwan hingga
pujangga mencatat betapa nama Bekasi telah termasyhur sampai penjuru Nusantara
dan mancanegara sejak ribuan tahun silam.
Ahli filologi Prof. Dr. R. Ng.
Poerbatjaraka mentahbiskan nama Bekasi berasal dari kata Chandrabhaga,
nama sungai yang dibangun pada abad ke-5 Masehi oleh salah seorang Raja
Tarumanagara bernama Rajadhiraja Yang Mulia Purnawarman. Poerbatjaraka mengurai
kata Candrabhaga menjadi dua kata, yakni Chandra yang berarti “bulan” dan Bhaga
yang berarti “bahagia”.
Kata Chandra dalam bahasa
Sanskerta sama dengan kata Sasi dalam bahasa Jawa kuno, sehingga nama
Candrabhaga identik dengan kata Sasibhaga, yang apabila diterjemahkan secara
terbalik menjadi Bhagasasi.
Pada perkembangannya, pelafalan
kata Bhagasasi mengalami perubahan. Berbagai sumber tertulis abad ke-18 sampai
abad ke-21 menerakan nama Bekasi dengan tulisan Bakasie, Bekasjie,
Bekasie,
Bekassi,
dan terakhir Bekasi.
Bekasi juga dikenal sebagai Kota Patriot,
karena dari masa ke masa, terutama pada masa penyerangan tentara Mataram
terhadap VOC di Batavia pada 1628-1629 sampai perang kemerdekaan 1945-1949,
wilayah Bekasi merupakan front terdepan bagi para patriot pejuang Indonesia
untuk menghalau Belanda yang berada di Jakarta.
Patriotisme dan perjuangan yang
dilakukan para pejuang, termasuk Pahlawan Nasional KH Noer Alie, mengilhami
banyak orang untuk berkarya. Seperti Chairil Anwar melalui sajak monumental
“Krawang-Bekasi,” wartawan Darmawijaya dalam puisi “Kami Membangun, Pembakaran
Bekasi,” pencita lagu dan aranser Ismail Marzuki melalui lagu “Melati di Tapal
Batas,” budayawan Pramoedya Ananta Toer dalam roman sejarah Di Tepi Kali
Bekasi, serta sejarawan Bekasi Ali Anwar dalam buku Sejarah
Bekasi Sejak Purnawarman sampai Orde Baru, Cuplikan
Sejarah Patriotik di Bekasi, KH Noer Alie Ulama Pejuang dan Bekasi Dibom
Sekutu.
Kini, di
usianya yang ke-58, Kabupaten Bekasi tetap termasyhur. Sepertiga produk ekspor
Indonesia berasal dari Bekasi. Belakangan bumi Bekasi mengandung minyak dan gas
melimpah yang menyumbangkan devisi besar bagi negara. Bahkan Kepolisian
Republik Indonesia dan kepolisian Jepang menetapkan Kepolisian Resort Bekasi
sebagai kepolisian percontohan dengan konsep polisi komunitas (community
police) model koban dalam bentuk pospol-pospol.
Tarumanagara
Puncak Peradaban Buni
Chandrabhaga merupakan
salah satu kata dalam Prasasti Tugu yang ditemukan di Kampung Batu Tumbuh,
Tugu, Kecamatan Cilincing, Kabupaten Bekasi (sejak 1970-an Cilincing dimasukkan
ke dalam wilayah Jakarta Utara). Karena Prasasti Tugu merupakan prasasti
bertulis tertua di Pulau Jawa (abad ke-5 Masehi), maka masyarakat Bekasi dan
sekitarnya merupakan masyarakat pertama di Pulau Jawa yang telah mengenal huruf
dan membaca.
Selain Prasasti Tugu, Tarumanagara
juga menerakan jejaknya pada Prasasti Ciaruteun, Prasasti Muara Cianten,
Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Jambu, Prasasti Pasir Awi, dan Prasasti
Cidanghiang. Para arkeolog terus melakukan penelitian untuk “menghidupkan”
kembali Tarumanagara. Rupanya, KerajaanTarumanagara merupakan puncak peradaban
masyarakat Bekasi, Karawang, Jakarta, Bogor, bahkan sebagian Jawa Barat dan
Banten.
Sedangkan akar peradaban Bekasi
berlangsung sejak 1000 tahun Sebelum Masehi pada jaman Neoliticum dan
Paleometalik. Buktinya, pada 1960-an di Kampung Buni Pendayakan, Desa Buni Bakti,
Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, ditemukan berbagai peralatan hidup masa
2000 tahun silam, seperti beliung persegi, manik-manik, perhiasan emas, periuk,
piring, kendi, dan piring arekamedu.
Para arkeolog dunia menjulukinya
sebagai Situs
Buni, sedangkan masyarakat mengabadikan penemuan emas yang
menghebohkan itu dalam bentuk nama jalan, yakni Jalan Pasar Emas.
Sejarah terus terkuak. Ternyata
sekitar 30 kilometer ke arah timur dari Situs Buni atau 40 kilometer dari
Prasasti Tugu, di Desa Batujaya, Kabupaten Karawang, arkeolog menemukan kompleks
percandian Tarumanagara seluas 150 hektar.
Pengaruh
Hindu dan Islam
Kejayaan Tarumanagara yang lebih
mengandalkan transportasi Kali Bekasi, Citarum, dan Ciliwung, lambat laun surut
bersamaan dengan serangan kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7-8 dan masuknya
Islam dari Timur Tengah ke Nusantara sejak pertama hijriyah (abad ke-7 Masehi).
Saat
Tarumanagara yang beragama Hindu dalam posisi amat lemah pada abad ke-10,
muncul kerajaan Hindu Sunda di sekitar Bogor sekarang. Kemudian pada abad
ke-14-15 di Bogor berdiri Kerajaan Pajajaran dengan Sunda Kalapa sebagai
pelabuhannya.
Rupanya masuknya Islam melalui
pesisir lambat-laun memiliki penganut yang kian bertambah. Salah seorang ulama
terkemuka di sekitar Bekasi dan Karawang adalah Syeikh Hasanuddin atau Syeikh
Quro (1416), yang petilasannya diyakini berada di Kampung Puo Bata, Lemah
Abang, Karawang, dan diziarahi umat Islam hingga sekarang.
Konon, salah seorang santri Syeikh
Quro, Nyi Mas Subang Larang, menikah dengan Raja Galuh Purwa Nagari, Prabu
Siliwangi, yang semula beragama Hindu. Nyi Subang Larang dan kedua anaknya,
Rakean Walangsungsang dan Nyi Mas Rarasantang diyakini ikut menyebarkan ajaran
Islam di Jawa Barat.
Tome Pires dalam catatan
perjalanannya pada 1513-1515 menyatakan, Pajajaran memiliki kekuasaan atas
pelabuhan Banten, Pontang, Tangerang, Kalapa, sampai Cimanuk. Dengan demikian
saat itu Bekasi masuk dalam wilayah Kerajaan Pajajaran. Namun Raja Pakuan
Pajajaran yang beragama Hindu cemas terhadap pengaruh dan kekuatan orang Islam
yang membentang di sepanjang pesisir utara Pulau Jawa, terutama banten,
Cirebon, dan Demak.
Khawatir diserang
kerajaan-kerajaan Islam, Pajajaran meminta bantuan Portugis pada 1522.
Kekhawatiran Pajajaran terbukti. Pada 1527 Faletehan atau Fatahilah bersama
Cirebon dan Demak menguasai pelabuhan Sunda Kelapa. Falatehan yang mengubah
Sunda Kalapa menjadi Jayakarta dengan pusat kerajaan di sebelah kiri Ciliwung,
memiliki kekuasaan sampai Cisadane di sebelah barat, Citarum di sebelah timur, keraton
Pajajaran di sebelah selatan, dan pulau-pulau di sebelah utara. Dengan demikian
Bekasi yang terletak di sebelah timur termasuk dalam kekuasaan Jayakarta.
Basis
Pertahanan Mataram
Organisasi dagang Belanda VOC
(Vereenigde Oost-Indische Compagnie) yang diizinkan Pangeran Jayakarta
Wijayakrama untuk mendirikan benteng di sebelah utara keraton Jayakarta, malah
ingin menguasai Jayakarta sehingga terjadi konflik. Dalam pertempuran selama
sebulan, VOC menaklukkan Jayakarta pada 31 Mei 1619. Selanjutnya Jayakarta
diganti menjadi Batavia.
Dari Batavia, VOC melakukan
ekspansi dagang dan kekuasaan ke wilayah lain di Nusantara. Kondisi ini membuat
marah Raja Mataram, Sultan Agung. Maka, sejak 1828 sampai 1830 Mataram
mengirimkan pasukan dan mengepung Batavia. Sedangkan perbekalan dan
peristirahatan pasukan ditempatkan di Bekasi, Karawang, Cirebon, dan Tegal.
Namun sayang, pasukan Mataram gagal menguasai benteng Batavia. Perbekalan
Mataram dibakar VOC dan kaki tangannya.
Para prajurit yang tidak kembali
ke Mataram, menetap dan berkeluarga di sekitar Bekasi dan Karawang. Kaum urban
dari Mataram ini tentu saja memberi tambahan warna terhadap budaya masyarakat
setempat, terutama mental pejuang, pemberontak, jago, santri, dan seniman. Para
pemimpimpin grup kesenian topeng Bekasi, sebagai contoh, selalu mengklaim bahwa
kesenian mereka tumbuh sejak para pasukan Mataram menetap di Bekasi.
Di sekitar Batavia, pengaruh hukum
VOC meluas sampai ke Bekasi, Buitenzorg (Bogor), Karawang, dan Priangan. Tetapi
karena wilayah yang dikuasai VOC selalu tidak aman, terutama diganggu oleh
pasukan Mataram dan pemberontakan etnis Cina di Batavia sampai Bekasi pada
1740, VOC menghadiahkan tanahnya kepada orang-orang yang dianggap berpihak
kepadanya: opsir atau komandan, pemimpin adat, demang, mandor, dan orang Cina.
Kawasan
Industri Pertanian
Pada akhir abad ke-18 VOC bangkrut
akibat terlalu besar mengeluarkan biaya untuk perang, pembelian senjata,
membayar pegawai dan tentara, serta korupsi yang merajalela. Pemerintah
Belandapun mengambilalih semua kekuasaan dan kekayaan VOC pada 1799, sedangkan
kelembagaan VOC diubah menjadi Pemerintah Hindia Belanda.
Birokrasi Pemerintah Hindia
Belanda dibedakan dalam dua jenis, yakni pejabat berkebangssan Eropa
(Binennlandsch Bestuur) dan pangrehpraja atau pejabat pribumi (Inlandsch
Bestuuur). Secara struktural pejabat Eropa meliputi Gubernur Jenderal, Residen,
Assisten Residen, Kontrolur (Controleur). Sedangkan pangrehpraja meliputi
Patih, Bupati, Wedana, Assisten Wedana. Saat itu Bekasi dan Cikarang berstatus
distrik atau kewedanaan dari Regenschaap atau Kabupaten Meester Cornelis,
Residensi Batavia.
Konsep kepemilikan tanahnya
diubah. Kalau pada masa kerajaan pribumi, tanah adalah milik raja, sedangkan
pada masa Hindia Belanda tanah milik pemerintah. Untuk meningkatkan anggaran,
tanah-tanah yang memiliki potensi pendapatan ekonomi disewakan kepada pihak
swasta sampai 75 tahun.
Sedangkan sebagian besar tanah di
Kewedanaan Bekasi dan Kewedanaan Cikarang disewa atau dikuasai secara
partikelir (particuliere
landerijen) oleh para tuan tanah (landheer) dari etnis
Cina. Sehingga sejak awal abad ke-19, Bekasi dan Cikarang menjadi kawasan
industri pertanian dan pekebunan, terutama padi, kelapa, karet, tebu,
sayur-mayur, dan buah-buahan. Perkebunan tebu dan pabrik gula, sebagai contoh,
dibangun di Kampung Gabus, Karangcongok, Bekasi, pada 1840-an. Arus urbanisasi
tak terelakkan, terutama dari Cirebon, Banten, dan Mataram.
Rupanya di tanah yang subur ini
para tuan tanah kapitalis yang lebih mengeksploitasi ketimbang mensejahterakan
penduduknya. Sedangkan pejabat pemerintah lebi berpihak kepada kepentingan tuan
tanah ketimbang masyarakatnya, sehingga menimbulkan keresahan agraris dan
sosial. Keresahan tersebut memuncak pada pemberontakan petani di Tambun pada
1869 yang menewaskan Assisten Residen Meester Cornelis C.E. Kuyper.
Pembangunan rel kereta api
Manggarai sampai Kedunggedeh pada 1887 pada satu sisi mempercepat arus barang
dan penumpang, namun di sisi lain kian memperbesar peluang eksploitasi terhadap
hasil bumi dan tenaga manusia. Hidup masyarakat kian terbebani oleh kenaikan
harga, upah buruh yang rendah, serta penarikan berbagai jenis pajak (cuke, sewa
tanah, penangkapan binatang, pengairan, pohon, pemanfaatan tanah, pesta,
pasar), rente dan ijon, dan pungutan liar.
Sarekat Islam
Penyalur Aspirasi
Saat masyarakat Bekasi kebingungan
menyalurkan aspirasinya, pada 1913 hadir Sarekat Islam. Organisasi pergerakan
yang memakai simbol-simbol Islam ini sanggup menjadi wadah penyalur aspirasi
masyarakat tertindas, karena selalu dibela bila anggotanya dirugikan pemerintah
dan tuan tanah.
Pemerintah Kewedanaan Bekasi yang
ketakutan terhadap perkembangan Sarekat Islam, sampai ikut campur tangan dengan
cara mengubah nama Sarekat Islam menjadi Djoemiat Islamijah. Untuk melawan
Djoemiat Islamijah, tuan tanah mendirikan organisasi tandingan bernama Kong
Djie Hin. Konflik meruncing dalam bentrokan antara 3000 anggota Djoemiat
Islamijah dengan ratusan orang kaki tangan tuan tanah dan mandor di pada 13
Desember 1913.
Untuk menenangkan Bekasi, beberapa
tuntutan masyarakat dipenuhi. Djoemiat Islamijah kembali menjadi Sarekat Islam,
upah kerja buruh dinaikkan. Beratnya ongkos dan biaya hidup, membuat kaum buruh
kembali menuntut kenaikan upah pada 1919. Namun pemerintah dan tuan tanah
bukannya meningkatkan kesejahteraan buruh, malah melakukan penekanan dengan
cara menambah pasukan militernya sejak 1922.
Tuan tanah juga tidak menghendaki
penduduknya berpendidikan tinggi, karena khawatir menjadi ancaman. Itu
sebabnya, sampai awal 1930-an tidak ada lembaga pendidikan umum di Bekasi,
sehingga kebanyakan anak-anak Bekasi menempuh pendidikan dasar di
madrasah-madrasah. Hanya santri yang gigih, cerdas, pintar dan berpikiran
majulah yang bisa bermukim ke Makkah, Saudi Arabia. Itupun dengan biaya
sendiri, seperti KH Noer Alie, KH Mochtar Tabrani, KH Muhajirin, KH Masturo.
Pendudukan
Militer Jepang
Setelah menang dalam Perang Dunia
II, Pemerintah Pendudukan Militer Jepang yang memperoleh wilayah Pasifik dan
selatan Jepang amat mudah menguasai Indonesia pada 1942. Begitu juga saat
datang ke Bekasi, kedatangan Jepang disambut dengan antusias. Karena Jepang
yang sama-sama dari Asia dan dianggap “saudara tua” mampu menggantikan
kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda.
Sebelum Jepang mengambilalih
pemerintahan dan keamanan, Jepang mengajak masyarakat Bekasi melakukan
penggedoran (penjarahan) terhadap rumah, gudang, dan toko tuan tanah Cina.
Bendera Merah-Putih dikibarkan, lagu Indonesia Raya diperdengarkan. Namun,
kegembiraan hanya berlangsung sepekan. Selebihnya, hidup masyarakat Bekasi
dalam ketakutan, kelaparan, kemiskinan, dan kematian.
Salah seorang penjarah, Mahbub,
malah dipancung di Alun-alun Bekasi. Merah-Putih diganti bendera Jepang (bola
merah), lagu Indonesia Raya diganti dengan lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo.
Residensi Batavia diganti menjadi Jakarta Shu, Kabupaten Meester Cornelis
menjadi Jatinegara Ken, Kewedanaan atau Distrik Bekasi dan Cikarang menjadi
Bekasi Gun dan Cikarang Gun, Onderdistrik atau kecamatan menjadi Sen, Desa
menjadi Ku.
Masyarakat Bekasi banyak yang
dijadikan pekerja paksa atau Romusha, hasil panen harus diserahkan kepada
pemerintah. Manfaat pendudukan Jepang diantaranya, para pemuda dilatih
kemiliteran seperti Seinendan (barisan pemuda), keibodan (pembantu polisi), heiho
(baris-berbaris) yang lulus dilatih militer dalam Pembela Tanah Air (Peta).
Meski daya cengkeram Jepang amat
kuat, namun para tokoh Bekasi melakukan siasat dengan cara menanamkan semangat
keagamaan dan nasionalisme kepada para santri dan anak muda. Seperti KH Noer
Alie di Ujungmalang, Babelan; Haji Rijan dan Husein kamaliy di Kranji.
Sedangkan di Mesjid Pasar Bekasi berdiri Gerakan Pemuda Islam Bekasi (GPIB)
yang dipimpin KH Abdul Hamid, Marzuki Urmaini, Hasan Sjahroni, Marzuki Hidayat.
Di Tambun para pemuda dipimpin Angkut Abu Gozali, dan di Cikarang oleh Muhammad
Hasan dan KH Fudholy.
Front
Terdepan Para Patriot
Jepang menyatakan takluk kepada
Sekutu setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom atom. Pemuda Indonesia memanfaatkan
situasi ini dengan memproklmasikan kemerdekaan yang dibacakan Soekarno-Hatta
pada 17 Agustus 1945. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesai (PPKI) mengubah
namanya menjadi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Di Bekasi dibentuk KNI
Bekasi yang memegang pemerintahan sipil, menyalurkan sumbangan dan mengurus
korban perang.
Jakarta dikuasai Sekutu, sehingga
Ibu Kota Negara dipindahkan ke Yogyakarta, sedangkan Pemerintahan Jakarta
mengungsi ke Purwakarta. Sekutu dan Belanda yang berada di Jakarta amat
antusias menguasai wilayah sebelah timur (Bekasi-Karawang), namun harus
berhadapan dengan para patriot muda dan berani (BKR, TKR, dan badan perjuangan)
di front terdepan, Cakung.
Berbagai peristiwa heroik terjadi
selama perang. Diantaranya keikutsertaan rakyat Bekasi dalam rapat raksasa
Ikada, pertempuran di stasiun Bekasi yang menewaskan 90 orang tentara Jepang,
jatuhnya pesawat Dakota Inggris di cakung yang 26 pasukannya tewas di Bekasi.
Pertahanan Bekasi sempat goyah
akibat perseteruan antarpejuang. KH Noer Alie dari Hizbullah menggabungkan
badan-badan perjuangan dengan membentuk Badan Kelaskaran Bekasi pada 6 Januari
1946. Tapi KH Noer Alie mengundurkan diri, karena didesak oleh orang-orang yang
ingin memasukkan ideologi politik sosialis Tan Malaka ke dalam tubuh Badan
Kelaskaran Bekasi.
Perpecahan melebar sampai terjadi
konflik internal di tubuh pejuang Republik Indonesia. Pasukan Lasykar Rakyat
yang tidak mau bergabung ke dalam Tentara Republik Indonesia (TRI) di bawah
Jenderal Soedirman, malah melucuti pasukan TRI dan menduduki markas TRI di
Tambun pada 13 April 1947. Setelah terjadi pertempuran, TRI menaklukkan Lasykar
Rakyat pada 15 April.
Sejumlah tokoh Lasykar Rakyat yang
melarikan diri ke Jakarta–seperti Haroen Oemar, Aziz, Noerdin Pasariboe,
Pandji, Fachroedin, Soemarmo, dan Soedjono–belakangan menjadi penunjuk jalan
bagi Belanda saat Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947. Agresi
memporakporandakan pertahanan Bekasi sampai Karawang.
Tentara Republik yang porakporanda
ini dihimpun KH Noer Alie dalam wadah baru bernama Markas Pusat
Hizbullah-Sabilillah (MPHS) Jakarta Raya yang dibentuk di Karawang pada
September 1947. Wakil Residen Jakarta Mohammad Moe’min yang melihat kekosongan
jabatan Pemerintah Jatinegara akibat ditinggalkan Bupati Jatinegara, Rubaya,
menunjuk KH Noer Alie sebagai Koordinator Jatinegara pada 10 Januari 1948.
Perang dengan Belanda berakhir yang ditandai dengan Konverensi Meja Bundar di
Den Haag, Belanda, pada 27 Desember 1949.
Kabupaten
Jatinegara Menjadi Bekasi
Bekasi menolak Republik Indonesia
Serikat (RIS) dan menghendaki bergabung ke dalam Negara kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Para tokoh masyarakat—seperti KH Noer Alie, R Supardi, M
Hasibuan, Namin, Aminudin, Marzuki Urmaini, Marzuki Hidayat, Hasan Sjahroni,
Lukas Kustaryo, membentuk Panitia Amanat Rakyat Bekasi. Mereka menghimpun
sekitar 40 ribu orang warga Kewedanaan Bekasi dan Kewedanaan Cikarang di
Alun-alun Bekasi pada 17 Januari 1950. Dalam apel akbar tersebut mereka
berikrar keluar dari Distrik Federal Jakarta dan menolak Negara Pasundan, untuk
selanjutnya bergabung kedalam NKRI.
Rupanya tuntutan masyarakat Bekasi
diterima pemerintah pusat. RIS berubah menjadi RI, Kabupaten Jatinegara
berganti nama menjadi Kabupaten Bekasi. Lantas, berdasarkan Undang-undang Nomor
14 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Kabupaten Jawa Barat, pada 15 Agustus
1950 Kabupaten Bekasi–bersama-sama Kabupaten Bogor dan Kabupaten
Tengerang–dimasukkan ke dalam Provinsi Jawa Barat. Masa itu Bekasi dipimpin
oleh Bupati R. Suhandan Umar (1949-1951) dan Penjabat Sementara Bupati KH Noer
Alie (1951).
Ketika Bupati
R Sampoerno Kolopaking (1951-1958) masyarakat Bekasi mengikuti pemilihan umum
untuk yang pertama kali pada 1955. Hasilnya, komposisi Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Peralihan (DPRDP) didominasi lima partai besar, yakni Masjumi 8 kursi,
IP-KI 7 kursi, NU 3 kursi, PNI 2 kursi, dan PKI 2 kursi. Sedangkan delapan
partai lainnya masing-masing 1 kursi.
Pada 1958-1960 Bekasi dipimpin oleh
dua pemimpin, yaitu RMKS Prawira Adiningrat sebagai Bupati Bekasi dan Nausan
sebagai Kepala Daerah Swatantra Tingkat II Bekasi.
Meski Kabupaten Bekasi telah
berubah menjadi Kabupaten Bekasi, namun pusat pemerintahan Kabupaten Bekasi
masih di Jatinegara (sekarang Markas Kodim 0505 Jayakarta), sedangkan Dinas
Pekerjaan Umum dan Jawatan Pertanian berkantor di Gedung Tinggi Tambun. Agar
pelayanan lebih dekat dengan masyarakatnya, Prawira Adiningrat memulai
pembangunan gedung pemerintahan di Bekasi Kaum, Bekasi Timur, Jalan Juanda,
Bekasi.
Barulah ketika masa Bupati dan
Kepala Daerah Swatantra Tingkat II Bekasi Maun Alias Ismaun, pada 2 April 1960 Pusat Pemerintah Bekasi di gedung baru di Bekasi Kaum.
Pada 20 Agustus 1962 Kabupaten
Bekasi memiliki logo pemerintahan dengan sesanti “Swatantra Wibawa Mukti” yang
berarti daerah yang mengurus rumah tangganya sendiri, berpengaruh dan jaya
makmur. Saat itu, Pemerintah Pusat membangun Saluran Induk Tarum Barat dari Purwakarta sampai Bekasi dan Jakarta.
Pemberantasan
G30S/PKI
Pemberlakuan kembali kepada
Undang-undang dasar 1945 seyogianya membuat bangsa Indonesia semain baik. Tapi
pada kenyataanya, Presiden Soekarno meneraokan sistem politik Demokrasi
Terpimpin. Partai-partai politik yang berlawanan dibubarkan, sedangkan yang
mendukung seperti Partai Komunis Indonesia (PKI) dirangkul.
Konflik berujung pada peristiwa
pemberontakan Gerakan 30 September (G30S/PKI). Komando Distrik Militer 0507
Bekasi dibawah pimpinan Komandan Seksi II Kapten Sidharta dan Komandan Seksi IV
Kapten Henderik, menangkap pemimpin PKI Bekasi, Abas Djunaedi. Beberapa pasukan
Tjakrabirawa ditangkap di Cibarusah.
Adapun para pemuda, mahasiswa, dan
pelajar Bekasi membentuk Komando Aksi Tumpas yang dipimpin Ki Agus Abdurrachman (Pemuda Pancasila), Dadang Hasbullah (Pemuda
Muhammadiyah), Abdurrachman Mufti, Ateng Siroj, Muhtadi Muchtar (PII) dan
Damanhuri Husein (Gerakan Pelajar Pancasila) serta tokoh-tokoh lain dari unsur
Gerakan Pemuda Anshor, IPNU, IPPNU, IPM dan lain-lain), serta Kesatuan Aksi
Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI) Bekasi yang diketuai oleh Ateng Siroj dan sekretaris Damanhuri Husein.
Masa Orde
Baru
Pada masa awal Orde Baru, Bekasi
dipimpin Bupati MS Soebandi (1967-1973). Ketika itu, merupakan tahapan pembangunan lima tahun pertama, pemerintah meluncurkan bantuan pembangunan desa,
berupa pembangunan jalan, gedung sekolah, dan kesehatan.
Bupati H.
Abdul Fatah memimpin pada 1973-1983. Ketika itu Saluran Irigasi Tarum Barat
selesai dibangun. Kemudian menyusul pembangunan Canal Bekasi Laut (CBL).
Manfaatnya, 30 ribu hektar sawah mendapat air secara teratur. Sampai-sampai
Kabupaten Bekasi sempat surplus beras, sehingga mampu memenuhi stok nasional dan menjadi salah satu lumbung padi Jawa Barat.
Pada masa itu dibangun Kantor Pemerintah Kabupaten
Bekasi di Jalan Ahmad Yani No.1 Bekasi, stadion, gedung olahraga, monumen daerah, serta fasilitas-fasilitas umum lainnya. Pada sisi lain
beberapa bagian wilayah Bekasi diambil kembali oleh DKI Jakarta, terutama
Cakung, Cilincing, dan sebagian Pondok Gede.
Masa Bupati H. Suko Martono (1983-1993) pembangunan menekankan pada sektor pertanian.
Bekasi kembali menjadi kawasan industri modern, perumahan, dan pertokoan.
Bersama-sama tokoh masyarakat seeprti KH Noer Alie, Suko Martono mendirikan
Yayasan Nurul Islam, yang salah satu programnya membangun gedung Islamic Centre.
Bupati H. Mochammad Djamhari (1993-1998) mencanangkan pembangunan dengan moto “Back to Village” (Kembali ke desa) dengan mengadakan berbagai
proyek-proyek percontohan di sektor pertanian. Kepada para investor perumahan
dikenakan kewajiban untuk menyediakan fasilitas pendidikan sekolah dasar dan
lahan tempat pemakaman umum. Saat itu pusat kota dikembangkan menjadi Kota Administratif Bekasi menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Bekasi berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1996 tanggal 18 Desember 1996.
Masa
Reformasi
Lengsernya Presiden Soeharto
menandai awal era reformasi. Bupati H Mochammad Djamhari digantikan H Wikanda
Darmawijaya (1998-2003). Melalui Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, sistem pemerintahan daerah terdapat
perubahan. Posisi DPRD berada di luar Pemerintah Daerah, bahkan menjadi
mitra sejajar dengan Pemerintah Daerah. Adapun Pemerintahan Daerah diselenggarakan secara lebih
otonom.
Bupati bersama DPRD membangun Kabupaten Bekasi dengan visi “Manusia Unggul yang Agamis
Berbasis Agribisnis dan Industri Berkelanjutan”. Pos
Pelayanan Terpadu (Posyandu) ditingkatkan, kompleks prostitusi “Malvinas” ditutup untuk selanjutnya diganti menjadi Rumah Sakit Umum dan mesjid. Ibu Kota Kabupaten Bekasi, lengkap dengan gedung pemerintahan,
DPRD, dan mesjid dibangun di Desa Sukamahi, Cikarang pusat.
Pembangunan gedung-gedung Pusat Pemerintahan Kabupaten Bekasi tersebut
dilanjutkan oleh Bupati Drs. H.M. Saleh Manaf (2003-2006). Bahkan pada Bupati Saleh Manaf, gedung
pemerintahan yang baru mulai difungsikan. Kecamatan
yang berjumlah 15 kecamatan menjadi 23 kecamatan. Selama terjadi kekosongan
jabatan bupati dan wakil bupati, ditunjuk Sekretaris Daerah Kabupaten Bekasi Drs. H.R. Herry Koesaeri S, M.Si sebagai
Pelaksana Tugas Bupati Bekasi, dan Drs. H. Tenny Wishramwan, M.Si sebagai Penjabat
Bupati Bekasi.
Pada masa itu diselenggarakan pemilihan Kepala Desa pada 105 desa. Masa ini
pula dijadikan tonggak penting bagi sejarah Bekasi. Ulama pejuang almarhum KH
Noer Alie menerima gelar Pahlawan Nasional dan Bintang Mahaputra Adhi Pradana
dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara pada 9 November 2006.